7 Banksawan

Sudah hampir 13 tahun Bhinneka.com menggairahkan bisnis e-commerce di Indonesia. Dalam perjalanannya, pelopor toko online ini mampu menguasai pasar dalam negeri. Sang founder sekaligus CEO, Hendrik Tio, tak akan pernah rela jika posisi Bhinneka.com sebagai yang nomor satu digeser oleh kompetitor.

Kompetitor yang ia maksud adalah toko online afiliasi asing yang saat ini semakin banyak di Indonesia. “Tugas saya adalah membawa Bhinneka.com untuk tetap menjadi nomor satu. Jangan sampai kita tidak bisa menjadi raja di negeri sendiri,” jelasnya.

Saat mengenang perjalanan Bhinneka.com di awal-awal pendiriannya, ia tak pernah menyangka bisa menjadi sebesar ini. Apalagi toko online ini dibentuk hanya karena satu hal yakni kepepet! “Jurus kepepet memang luar biasa hasilnya,” kenang Hendrik.

Menurut Hendrik, awal tahun 2000-an industri e-commerce mengalami bubble. Keterpurukan itu dikarenakan internet masih mahal, lambat (pakai dial up), masyarakat belum siap, sehingga dianggap sebagai produk yang gagal. Namun, tahun 2006 mulai terjadi titik balik dunia e-commerce. Pada momentum itu sudah banyak pribadi dan perusahaan yang menjual produk atau jasa lewat internet. Kondisi ini terus berkembang hingga sekarang e-commerce berada pada titik yang sangat bagus.

Seiring peningkatan e-commerce, ternyata muncul masalah baru: dari sisi kualitas pembayaran, masyarakat belum percaya 100%. Buktinya, kendati deal transaksi jual beli dilakukan secara online lewat internet atau situs belanja, namun untuk cara pembayaran transaksi masih secara konvensional, seperti ditransfer lewat ATM atau kasir bank. Selanjutnya, konsumen harus kirim fax bukti transfer.

Di sisi lain, booming e-commerce diwarnai dengan munculnya berbagai situs belanja online. Mulai dari yang kelas kakap, teri hingga abal-abal. Akibatnya, tidak sedikit masyarakat yang sering mengadu kecewa karena ditipu situs belanja online yang nakal atau fiktif. Lambat laun kondisi ini akan mengikis tingkat kepercayaan masyarakat.

Ya, cikal bakal bisnis Bhinneka didirikan tahun 1993, saat itu memulai usaha sebagai offline distributor, memasok printer dan komputer. Tapi, empat tahun kemudian, krisis ekonomi melanda. Bisnis Bhinneka berjalan melambat dan cenderung hanya bertahan. “Karena kepepet krisis ekonomi, kami merasa perlu membuat terobosan. Tidak bisa Bhinneka hanya begini-begini saja kala itu,” kenangnya. Kemudian, ada ide membuat toko online. Alasannya karena toko online bisa dilakukan dengan cepat dengan anggaran kecil. 

Hendirk mengklaim, saat itu toko online belum ada di Indonesia, sehingga ini menjadi peluang bagus. Pria lulusan Universitas Sumatera Utara, Medan, jurusan Akutansi ini rela menggelontorkan dana Rp 100 juta untuk mendirikan Bhinneka.com tahun 1999. Setelah berdiri, toko online ini tidak langsung besar.

Tantangan yang dihadapi adalah orang-orang belum terbiasa berbelanja di internet hingga koneksi di era itu yang belum secepat seperti sekarang. “Mau mengakses saja loadingnya lama, belum lagi setelah bisa masuk ke laman Bhinneka.com. Cuma ada spesifikasinya tidak muncul foto barang yang dicari. Sulit memang ketika itu,” jelasnya lagi.

Karena keteguhan Hendrik membesarkan bisnisnya, secara bertahap Bhinneka.com makin dikenal masyarakat. Seriring dengan berkembangnya produk-produk teknologi informasi (TI) dan koneksi internet yang semakin cepat serta meningkatnya kebiasaan masyarakat menggunakan internet, tahun ini transaksi di Bhinneka.com sudah mencapai Rp 200 – 300 miliar.

Saat ini Hendrik sedang sibuk mengembangkan aplikasi Bhinneka.com untuk versi smartphone. Ia sadar, penggunaan smartphoe atau telephone pintar kian menjamur. Sebanyak 80% dari telephone yang dijual di Indonesia memiliki fasilitas untuk mengakses internet.

“Kami melihat tren akses internet dan e-commerce dari smartphone akan terus meningkat pesat hingga beberapa tahun ke depan. Untuk itu kami optimis aplikasi-aplikasi yang kami buat dapat menjadi salah satu acuan bagi pengguna ketika berencana membeli perlengkapan teknologi di Bhinneka.com.”

Ke depan, Hendrik berencana membawa Bhinneka.com untuk melakukan penawaran harga saham perdana (initial public offering/IPO). “Ini tentu saja menjadi target kami. Ya kami akan go public, doakan saja toko online asli lokal ini tetap mampu menjadi raja di negeri sendiri,” tambahnya.

Sumber : swa.co.id
Read More …

Sudah hampir 13 tahun Bhinneka.com menggairahkan bisnis e-commerce di Indonesia. Dalam perjalanannya, pelopor toko online ini mampu menguasai pasar dalam negeri. Sang founder sekaligus CEO, Hendrik Tio, tak akan pernah rela jika posisi Bhinneka.com sebagai yang nomor satu digeser oleh kompetitor.
Read More …

“Semakin ke sini tren pakai jilbab kok tambah aneh aja ya, Kak?”  tanya Aneu dengan raut wajah bingung.
“Maksudnya aneh gimana, sayang?” Hilda pun balik bertanya.

“Coba aja Kakak lihat, yang semula pake peniti di leher sekarang malah pada pake penitinya di kepala?”

“Hehe iya juga ya, Dek...” Hilda tertawa menanggapi celotehan adiknya yang masih duduk di bangku kelas 3 SD.

“Terus udah gitu pakenya berbelit-belit lagi, ditarik ke sana ditarik ke sini. Aneu aja pusing ngeliatnya, Kak. Kakak kok pakai jilbabnya masih biasa aja enggak di apa-apain, kan biar gaul Kak?” tanyanya polos.

“Hmm Kakak suka yang sederhana aja Dek, tau enggak kesederhanaan itu indah loh.” Jawab Hilda sembari tersenyum.

“Maksudnya apa, Kak?”

“Allah itu memang menyukai keindahan, tapi Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebihan". Lagi pula, Ibu kan selalu mengajarkan kita tentang kesederhanaan, bukan begitu? Hayo diingat-ingat lagi nasihat Ibu?” Hilda pun menasihati adik kecilnya. Aneu tersenyum malu.

“Ayo sana berangkat mengaji, tuh Pak Ustadnya sudah datang. Sini Kak Hilda pakaikan jilbabnya,” seru Hilda.

Setiap habis Ashar memang adalah waktunya Aneu mengaji di masjid. Hilda pun hendak memakaikan jilbab berwarna biru muda, yang tak lain merupakan warna kesukaan Aneu.

“Eits sebentar dulu Kak, awas pakein penitinya di leher bukan di kepala. Nanti Kak Hilda lupa lagi. Hehe.”

“Kan kata kamu tadi biar gaul?” goda Hilda.

“Gaul sih gaul, tapi ribet Kak. Nanti kalo habis wudhu mau solat maghrib, Aneu ga bisa pakainya lagi gimana kak? Hehe.”

“Adik kakak yang satu ini memang pintar,” Hilda mencubit kedua pipi Aneu gemas.

Tak lama kemudian Aneu pun berangkat mengaji ke masjid dan terlihat tampak cantik dengan balutan jilbabnya yang kebesaran.


Kesimpulan: Jangan pernah takut dibilang ketinggalan zaman, selama kita merasa nyaman dengan apa yang kita kenakan, karena jadi diri sendiri itu jauh lebih menyenangkan.

Sumber : republika.co.id
Read More …

“Semakin ke sini tren pakai jilbab kok tambah aneh aja ya, Kak?”  tanya Aneu dengan raut wajah bingung.
“Maksudnya aneh gimana, sayang?” Hilda pun balik bertanya.

“Coba aja Kakak lihat, yang semula pake peniti di leher sekarang malah pada pake penitinya di kepala?”

“Hehe iya juga ya, Dek...” Hilda tertawa menanggapi celotehan adiknya yang masih duduk di bangku kelas 3 SD.

“Terus udah gitu pakenya berbelit-belit lagi, ditarik ke sana ditarik ke sini. Aneu aja pusing ngeliatnya, Kak. Kakak kok pakai jilbabnya masih biasa aja enggak di apa-apain, kan biar gaul Kak?” tanyanya polos.

“Hmm Kakak suka yang sederhana aja Dek, tau enggak kesederhanaan itu indah loh.” Jawab Hilda sembari tersenyum.

“Maksudnya apa, Kak?”

“Allah itu memang menyukai keindahan, tapi Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebihan". Lagi pula, Ibu kan selalu mengajarkan kita tentang kesederhanaan, bukan begitu? Hayo diingat-ingat lagi nasihat Ibu?” Hilda pun menasihati adik kecilnya. Aneu tersenyum malu.

“Ayo sana berangkat mengaji, tuh Pak Ustadnya sudah datang. Sini Kak Hilda pakaikan jilbabnya,” seru Hilda.

Setiap habis Ashar memang adalah waktunya Aneu mengaji di masjid. Hilda pun hendak memakaikan jilbab berwarna biru muda, yang tak lain merupakan warna kesukaan Aneu.

“Eits sebentar dulu Kak, awas pakein penitinya di leher bukan di kepala. Nanti Kak Hilda lupa lagi. Hehe.”

“Kan kata kamu tadi biar gaul?” goda Hilda.

“Gaul sih gaul, tapi ribet Kak. Nanti kalo habis wudhu mau solat maghrib, Aneu ga bisa pakainya lagi gimana kak? Hehe.”

“Adik kakak yang satu ini memang pintar,” Hilda mencubit kedua pipi Aneu gemas.

Tak lama kemudian Aneu pun berangkat mengaji ke masjid dan terlihat tampak cantik dengan balutan jilbabnya yang kebesaran.


Kesimpulan: Jangan pernah takut dibilang ketinggalan zaman, selama kita merasa nyaman dengan apa yang kita kenakan, karena jadi diri sendiri itu jauh lebih menyenangkan.

Sumber : republika.co.id
Read More …